Selasa, 08 Oktober 2013

Mengapa Tubagus Muhammad Septian Putra Begitu Dibenci?

Tampak jelas raut wajahku yang eksplisit; bagaikan halaman buku yang terbuka lebar untuk dibaca siapapun.

Aku kecewa.

Tuhan mendesain aku dengan komplikasi yang tiada dua.
Aku begitu rumit.
Setiap dedikasiku memikirkan segenap hal yang kulakukan sendiri nyatanya luar biasa membingungkan.
Mengapa aku begini, mengapa aku begitu.
Jawabannya sukar ditemukan.

Aku mencoba untuk membinasakan usaha sia-siaku.
Jalan panjang ini selalu berarah ke lorong buntu.
Nihil.
Semua misteri ini bukan misteri; tidak benar bahwa misteri tidak memiliki kebenaran dan pembenaran.
Renunganku kali ini bukan misteri.
Mereka natural.
Mewabah bagai candu yang hadir tanpa rikayat, muncul hanya dengan jelmaan fisik, tidak mungkin pernah bisa dipaparkan secara teoritis.

Aku membenci jenisku.
Kaum yang intelejen, namun tak urung sempurna.
Pertanyaan tak selalu bisa terjawab.
Ada yang bodoh dan ada yang pintar.
Sebuah inang biologis yang solid dalam kemaslahatan dimensi yang mega. Dayaku terbatas.
Aku hanya lebih baik karena aku bisa berpikir.

Aku bisa berpikir, namun kaum binatang bisa hidup lebih tenteram.  Nyatanya tidak paling sempurna.
Aku bisa memimpin, namun  label penjahat hanya tersedia untuk nominasiku.
Nyatanya tidak paling sempurna.
Aku bisa hidup sederajat satu sama lain, namun porsi mereka yang menentang eksistensiku lebih besar dari fungsiku, dari dedikasiku, dari potensiku, dari pengorbananku, dari semua hal yang kulakukan untuk mereka.

Aku dilahirkan dengan komplikasi.
Komplikasi yang kini membuat aku membenci diriku sendiri dan membuat orang lain membenciku lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar