Saya sangat ingin berterimakasih kepada literatur
pada malam ini. Tanpanya, saya mungkin akan kehabisan akal untuk mencurahkan
isi kepala yang hampir meletus ini. Walaupun ketersediaannya hanya terbatas
oleh 26 jenis abjad, kekuatannya mampu melepaskan kegundahan yang rumit dan
kusut sekalipun. Ketika pikiran dalam benak saya sudah seperti kabel headset
yang disimpan di dalam tas, literatur selalu tahu bagaimana caranya
menguraikannya kembali menjadi sebuah keteraturan, memberikan sebuah sensasi
lega—kelegaan yang menjadi juru selamat saya dari atom kesengsaraan. Mereka
membantu saya berekspresi. Kombinasi huruf dan huruf, kata demi kata, kalimat
per kalimat. Pikiran saya terbang bagai bunga Dandelion yang akhirnya terlepas
jeratan paksa. Ringan.
Sayang sekali, terkadang literatur tidak selalu
representatif. Mari kita buktikan dengan uji ilmiah termudah. Coba resapi
literatur yang saya sediakan di bawah:
Sakit.
Apa yang Anda rasakan? Dapatkah perasaan yang saya
miliki Anda turut rasakan sama besar? Signifikan dan persiskah? Baiklah, karena
namanya juga ilmiah, mari kita coba lagi. Silakan resapi kata baru di bawah
ini:
Perih.
Nah, bagaimana dengan yang satu ini? Apa yang anda
bayangkan? Apakah empati Anda dapat menyerupai perasaan perih yang saya
sebutkan? Apakah simpati Anda sudah mencapai titik kesamaan dengan bagaimana
keadaan yang saya coba saya maksudkan di balik penggunaan kata itu?
Saya masih belum percaya kalau literatur bisa
mewakili itu semua. Bagi saya, hal esensial yang absen dan menyebabkan itu semua
menjadi tidak mungkin adalah pengalaman.
Pengalaman memberikan sebuah insiden yang particular, memberikan dimensi baru yang
original kepada sebuah ketersediaan literatur tersebut. Pengalaman memberikan
saya kondisi pribadi akan apa itu arti di balik kata sakit dan perih. Tidak
akan semua orang mengerti dua kata tersebut sesuai dengan interpretasi dan
sensasi yang saya miliki, karena tidak semua
orang mengalami pengalaman yang saya alami. Pengalaman memberikan arti
berbeda bagi setiap individu. Different person
for a distinct imagery, and vice
versa.
Terkadang saya sangat berharap literatur memiliki
satu ikatan resmi, tetap dan tidak terbedakan dengan pengalaman. Saya ingin
mereka kawin. Ketika saya bilang sakit atau
perih, orang lain juga langsung
merasakan apa yang saya rasakan. Bukan, bukan ingin saya mereka yang mendengar
juga jadi ikut tersiksa, tapi saya berharap saya bisa representatif. Saya tidak
perlu lagi ditakar, diukur, dikira-kira, karena maksud di balik kata yang saya
gunakan bisa sejelas pilihan kata saya. Literatur
saya bisa menjadi luar biasa jujur dengan perasaan.
Maklum, orang hanya bisa mengerti. Sulit merasakan apa yang belum pernah
dialami, bukan?
Contohnya, saya bilang ayam bakar saus kemangi
bumbu pedas dicampur sambal mangga dan tumis terong itu enak. Apa itu enak bagi
Anda? Sebagaimana enak yang saya
maksud enak? Apakah penyecap anda
memiliki halusinasi atau proyeksi delusi yang saya rasakan di lidah? Tak bisa,
sebelum Anda mengalami kesempatan untuk merasakan sendiri masakan itu—yang saya
sendiri tidak tahu beneran ada apa enggak.
Sulit memang memaksa orang memahami perasaan kita.
Literatur yang tersedia dan kemampuan kita memproduksi literatur tidak cukup
berdaya besar. Manusia tidak akan mampu mempadupadankan gumaman hati dengan
lisan ataupun tulisan mereka. Ada celah besar yang selalu siap sedia
menggagalkan usaha kita.
Fortunately, only
understanding is not thoroughly bad, eh? We don’t need our interlocutors to feel what we
have experienced, cause once we said ‘it
hurts’, they would understand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar