Kamis, 02 Agustus 2012

Literatur, Pengalaman dan Perasaan


Saya sangat ingin berterimakasih kepada literatur pada malam ini. Tanpanya, saya mungkin akan kehabisan akal untuk mencurahkan isi kepala yang hampir meletus ini. Walaupun ketersediaannya hanya terbatas oleh 26 jenis abjad, kekuatannya mampu melepaskan kegundahan yang rumit dan kusut sekalipun. Ketika pikiran dalam benak saya sudah seperti kabel headset yang disimpan di dalam tas, literatur selalu tahu bagaimana caranya menguraikannya kembali menjadi sebuah keteraturan, memberikan sebuah sensasi lega—kelegaan yang menjadi juru selamat saya dari atom kesengsaraan. Mereka membantu saya berekspresi. Kombinasi huruf dan huruf, kata demi kata, kalimat per kalimat. Pikiran saya terbang bagai bunga Dandelion yang akhirnya terlepas jeratan paksa. Ringan.

Sayang sekali, terkadang literatur tidak selalu representatif. Mari kita buktikan dengan uji ilmiah termudah. Coba resapi literatur yang saya sediakan di bawah:

Sakit.

Apa yang Anda rasakan? Dapatkah perasaan yang saya miliki Anda turut rasakan sama besar? Signifikan dan persiskah? Baiklah, karena namanya juga ilmiah, mari kita coba lagi. Silakan resapi kata baru di bawah ini:

Perih.

Nah, bagaimana dengan yang satu ini? Apa yang anda bayangkan? Apakah empati Anda dapat menyerupai perasaan perih yang saya sebutkan? Apakah simpati Anda sudah mencapai titik kesamaan dengan bagaimana keadaan yang saya coba saya maksudkan di balik penggunaan kata itu?

Saya masih belum percaya kalau literatur bisa mewakili itu semua. Bagi saya, hal esensial yang absen dan menyebabkan itu semua menjadi tidak mungkin adalah pengalaman.

Pengalaman memberikan sebuah insiden yang particular, memberikan dimensi baru yang original kepada sebuah ketersediaan literatur tersebut. Pengalaman memberikan saya kondisi pribadi akan apa itu arti di balik kata sakit dan perih. Tidak akan semua orang mengerti dua kata tersebut sesuai dengan interpretasi dan sensasi yang saya miliki, karena tidak semua orang mengalami pengalaman yang saya alami. Pengalaman memberikan arti berbeda bagi setiap individu. Different person for a distinct imagery, and vice versa.

Terkadang saya sangat berharap literatur memiliki satu ikatan resmi, tetap dan tidak terbedakan dengan pengalaman. Saya ingin mereka kawin. Ketika saya bilang sakit atau perih, orang lain juga langsung merasakan apa yang saya rasakan. Bukan, bukan ingin saya mereka yang mendengar juga jadi ikut tersiksa, tapi saya berharap saya bisa representatif. Saya tidak perlu lagi ditakar, diukur, dikira-kira, karena maksud di balik kata yang saya gunakan bisa sejelas pilihan kata saya. Literatur saya bisa menjadi luar biasa jujur dengan perasaan.

Maklum, orang hanya bisa mengerti. Sulit merasakan apa yang belum pernah dialami, bukan?

Contohnya, saya bilang ayam bakar saus kemangi bumbu pedas dicampur sambal mangga dan tumis terong itu enak. Apa itu enak bagi Anda? Sebagaimana enak yang saya maksud enak? Apakah penyecap anda memiliki halusinasi atau proyeksi delusi yang saya rasakan di lidah? Tak bisa, sebelum Anda mengalami kesempatan untuk merasakan sendiri masakan itu—yang saya sendiri tidak tahu beneran ada apa enggak.
Sulit memang memaksa orang memahami perasaan kita. Literatur yang tersedia dan kemampuan kita memproduksi literatur tidak cukup berdaya besar. Manusia tidak akan mampu mempadupadankan gumaman hati dengan lisan ataupun tulisan mereka. Ada celah besar yang selalu siap sedia menggagalkan usaha kita.

Fortunately, only understanding is not thoroughly bad, eh? We don’t need our interlocutors to feel what we have experienced, cause once we said ‘it hurts’, they would understand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar