Selasa, 31 Juli 2012

Kiamat yang Sesungguhnya


Hari kepulanganku ke Bogor, 15 Juli 2012 pukul 13.32

Mataku disuguhi acara keagamaan di Tv One, dengan seorang ustadz yang mengambil tema Ketuhanan yang maha satu. Perdana aku melihat parasnya di televisi, mungkin aku yang memang udik karena sudah hampir setengah tahun aku jauh dari tayangan kubus persegi elektronik itu. Atau, memang ustadz ini baru naik daun—atau sedang dalam proses naik daun. Mereka bilang, profesi menjadi pembicara agamis yang motivatoris belakangan ini cukup menjanjikan dan cukup ‘mudah’ untuk digulati. Profesi yang menjanjikan. Tidak lagi dibatasi oleh kepentingan agama yang mulia, yang seharusnya mengharuskan mereka bekerja tanpa pamrih minta dibayar.

Bukan mereka yang menjadi pusat atensiku. Beberapa substantif yang mencoraki tema yang dipidatoi ustadz tersebutlah hal yang ingin aku perbincangkan. Secara sekilas aku menyimak monolognya yang berkata:
“Karena Islam sendiri memandang masalah itu dengan dua perspektif. Ada yang pro, ada yang kontra. Kedatangan artis Hollywood terus diperdebatkan sehingga Allah SWT memberi kita cobaan berupa bencana tabrakannya pesawat mutakhir buatan Rusia di gunung Salak, Jawa Barat.”

Dari segelintir frase dalam monolog tersebut, aku mendapatkan konklusi yang juga masih layak untuk diperdebatkan. Agama yang mejadi relevansi utamanya. Melihat adanya dua kubu dalam agama yang sama, hatiku terenyuh. Satu orientasi, dua divisi. Objektif religius dengan satu akidah kini punya kaki-kaki yang berbeda. Departemen paradigma yang tak satu arah. Semuanya terbukti dengan adanya pertentangan. Dualisme.

Adakah adanya sebuah agama memberikan legalitas untuk membenci sesama? Untuk menentang sesama? 

Aku pribadi merasa itu semua sureal. Interpretasi manusia dalam menterjemahkan petuah Tuhan terkadang menjerumuskan mereka untuk bergerak oposisi. Melihat manusia yang tidak dalam satu irisan  dengan mereka sebagai musuh. Stratifikasi manusia dengan agama sebagai tamengnya. Kaum atau sekte atau penyokong atau kelompok atau pengikut atau jemaat atau pemeluk agama bukanlah pertanda perbedaan buatku. Mereka bukan gelar. Mereka bukan identitas, bukan KTP. Mereka adalah inti berpikir kita. Originalitas eksistensi kita, seperti budaya. Agama adalah budaya yang tidak boleh di-klaim. Sacred. Maka dari itulah, aku berprinsip bahwasanya agama bukanlah hal yang layak untuk didebat. Yang benar, yang salah, siapa yang ‘pantas’ menilai? Apakah manusia mempunyai kapabiltas untuk mengambil aksi perihal eksekusi penyamarataan agama? Tidak. Buatku, itu mustahil. Tuhan berada dalam setiap individu. Beruntunglah kita masih dapat dikelompokkan dalam golongan yang satu kepercayaan dengan kita. Janganlah lupa, menjadi umat yang beragama adalah kepentingan indivdu itu sendiri, bukan untuk memperbanyak pengikutnya. Bukan untuk pakuat-kuat siapa yang benar. Bukan untuk dijadikan alasan berperang karena ingin yang lain berpikir dengan landasan agama kita. Bukan untuk dijadikan perbedaan. Untukmulah agamamu, untukkulah agamaku.

Kita harus sadar, pikiran kita penuh dengan kebencian. Hasrat penuh rasa dengki terhadap mereka yang tidak ‘sama’ dengan kita. Labelisasi siapa yang salah, siapa yang benar, telah membawa kita kepada fase baru yang lebih diabolis. Manusia berperang karena agama. Manusia, yang percaya Tuhan memberi kita semua berkah sebagai makhluk yang paling sempurna, menggunakan lengan sempurnanya untuk melukai sesama. Manusia, yang percaya bahwa Tuhan memberikan mereka kemampuan berpikir yang intelejensinya melebihi makhluk hidup lainnya, menggunakan otaknya untuk menyusun strategi dan taktik untuk menyerang sesama. Hal ini sungguh ironis—literally. Agama, kan, mengajarkan mereka jadi baik, kenapa, kok, mereka malah jadi jahat? Mana ada melukai sesama secara fisik dianggap baik? Mana bisa berperang dianggap mulia? Damai dan toleransi sesama. Kemanakah mereka telah menghilang?

Jangan tinggalkan empedu korosif ini dalam pikiran kita. Bisa-bisa, esensi agama lama-lama akan mengalami degradasi. Worst case, agama itu sendiri bisa menjadi faktor utama pemicu hancurnya kebersamaan manusia sebagai makhluk yang sederajat. Akan tercipta masa di mana manusia tidak lagi ragu untuk menghancurkan sesama, dan dibuangnya jauh rasa percaya dan peduli. 

Kiamat yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar