Hari kepulanganku ke Bogor, 15 Juli 2012 pukul
13.32
Mataku disuguhi acara keagamaan di Tv One, dengan
seorang ustadz yang mengambil tema Ketuhanan yang maha satu. Perdana aku
melihat parasnya di televisi, mungkin aku yang memang udik karena sudah hampir
setengah tahun aku jauh dari tayangan kubus persegi elektronik itu. Atau,
memang ustadz ini baru naik daun—atau sedang dalam proses naik daun. Mereka
bilang, profesi menjadi pembicara agamis yang motivatoris belakangan ini cukup
menjanjikan dan cukup ‘mudah’ untuk digulati. Profesi yang menjanjikan. Tidak
lagi dibatasi oleh kepentingan agama yang mulia, yang seharusnya mengharuskan
mereka bekerja tanpa pamrih minta dibayar.
Bukan mereka yang menjadi pusat atensiku. Beberapa
substantif yang mencoraki tema yang dipidatoi ustadz tersebutlah hal yang ingin
aku perbincangkan. Secara sekilas aku menyimak monolognya yang berkata:
“Karena Islam sendiri memandang masalah itu dengan
dua perspektif. Ada yang pro, ada yang kontra. Kedatangan artis Hollywood terus
diperdebatkan sehingga Allah SWT memberi kita cobaan berupa bencana tabrakannya
pesawat mutakhir buatan Rusia di gunung Salak, Jawa Barat.”
Dari segelintir frase dalam monolog tersebut, aku
mendapatkan konklusi yang juga masih layak untuk diperdebatkan. Agama yang
mejadi relevansi utamanya. Melihat adanya dua kubu dalam agama yang sama,
hatiku terenyuh. Satu orientasi, dua divisi. Objektif religius dengan satu
akidah kini punya kaki-kaki yang berbeda. Departemen paradigma yang tak satu
arah. Semuanya terbukti dengan adanya pertentangan. Dualisme.
Adakah adanya sebuah agama memberikan legalitas
untuk membenci sesama? Untuk menentang sesama?
Aku pribadi merasa itu semua
sureal. Interpretasi manusia dalam menterjemahkan petuah Tuhan terkadang
menjerumuskan mereka untuk bergerak oposisi. Melihat manusia yang tidak dalam
satu irisan dengan mereka sebagai musuh.
Stratifikasi manusia dengan agama sebagai tamengnya. Kaum atau sekte atau
penyokong atau kelompok atau pengikut atau jemaat atau pemeluk agama bukanlah
pertanda perbedaan buatku. Mereka bukan gelar. Mereka bukan identitas, bukan
KTP. Mereka adalah inti berpikir kita. Originalitas eksistensi kita, seperti
budaya. Agama adalah budaya yang tidak boleh di-klaim. Sacred. Maka dari itulah, aku berprinsip bahwasanya agama bukanlah
hal yang layak untuk didebat. Yang benar, yang salah, siapa yang ‘pantas’
menilai? Apakah manusia mempunyai kapabiltas untuk mengambil aksi perihal
eksekusi penyamarataan agama? Tidak. Buatku, itu mustahil. Tuhan berada dalam
setiap individu. Beruntunglah kita masih dapat dikelompokkan dalam golongan
yang satu kepercayaan dengan kita. Janganlah lupa, menjadi umat yang beragama
adalah kepentingan indivdu itu sendiri, bukan untuk memperbanyak pengikutnya.
Bukan untuk pakuat-kuat siapa yang
benar. Bukan untuk dijadikan alasan berperang karena ingin yang lain berpikir
dengan landasan agama kita. Bukan untuk dijadikan perbedaan. Untukmulah agamamu, untukkulah agamaku.
Kita harus sadar, pikiran kita penuh dengan
kebencian. Hasrat penuh rasa dengki terhadap mereka yang tidak ‘sama’ dengan
kita. Labelisasi siapa yang salah, siapa yang benar, telah membawa kita kepada
fase baru yang lebih diabolis. Manusia berperang karena agama. Manusia, yang
percaya Tuhan memberi kita semua berkah sebagai makhluk yang paling sempurna, menggunakan
lengan sempurnanya untuk melukai sesama. Manusia, yang percaya bahwa Tuhan
memberikan mereka kemampuan berpikir yang intelejensinya melebihi makhluk hidup
lainnya, menggunakan otaknya untuk menyusun strategi dan taktik untuk menyerang
sesama. Hal ini sungguh ironis—literally.
Agama, kan, mengajarkan mereka jadi baik, kenapa, kok, mereka malah jadi jahat?
Mana ada melukai sesama secara fisik dianggap baik? Mana bisa berperang
dianggap mulia? Damai dan toleransi
sesama. Kemanakah mereka telah menghilang?
Jangan tinggalkan empedu korosif ini dalam pikiran
kita. Bisa-bisa, esensi agama lama-lama akan mengalami degradasi. Worst case, agama itu sendiri bisa
menjadi faktor utama pemicu hancurnya kebersamaan manusia sebagai makhluk yang
sederajat. Akan tercipta masa di mana manusia tidak lagi ragu untuk
menghancurkan sesama, dan dibuangnya jauh rasa percaya dan peduli.
Kiamat yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar