Minggu, 29 Juli 2012

Cinta dengan Global Positioning System


Canggih benar, alat transportasi sekarang sudah diprakarsai oleh sebuah sistem teknologi canggih bernama GPS. Kemanapun kamu mau pergi, gak perlu takut nyasar. Cukup tekan tombol navigasi, mesin-zaman-dewasa-ini tersebut akan memberikanmu sebuah peta dengan detil lengkap yang bahkan gak ada di RPUL (maklum, RPUL masa kecil saya ada petanya. Tepat di cover belakang bukunya). Bahkan, yang saya tahu, GPS edisi terkini sudah memfasilitasi penggunanya dengan auto-teller yang mana kesannya mesin GPS kamu dijejelin mba-mba Alfamart yang siap cuap-cuap ngasih tau kamu harus belok di mana, ke mana dan kapan, tiap kali kamu pasang destinasi. Gimana Tuhan gak baik ngasih kita otak uber-outrageous sampe bisa nyiptain mesin dari kombinasi besi, plastik dan kaca canggih kaya gitu? Ya, memang bukan saya, sih, yang menciptakan, tapi saya bersyukur masih ada manusia yang masih menggunakan otak yang Tuhan ciptakan dengan kesamaan fungsi dan kapasitas dengan maksimal. Saya cuma kurang beruntung. Dan kurang usaha.

Namun, saya tetap orang yang tidak bersyukur secara bersamaan. Zaman sudah membawa kita pada kemampuan menyulap dunia geografis pada kemudahan untuk digapai melalui mesin yang bahkan besarnya tidak lebih besar daripada sebongkah tanah dan air bernama bumi itu sendiri. Namun bumi kalah. Ia terjelajahi oleh sebuah benda mungil yang siap membawa manusia menuju tempat yang mereka tuju. Bumi tidak bisa lagi memaksa manusia berteka-teki untuk menemukan tujuan. Bumi tidak bisa lagi menyimpan misteri. Bumi tidak bisa lagi menentukan nasib manusia. Manusia telah menemukan segala jawaban menuju pengharapan mereka; manusia menang.

Saya sangat tidak bersyukur karena manusia begitu tertolong dengan GPS. Namun, hal ini tidak sepenuhnya teraplikasikan terhadap dimensi lain yang manusia kerap kali dibuat kelabakan dalam mencari solusinya. Departemen yang terlampau sering membuat manusia tersesat. Bukan, bukan arah dan tujuan dalam esensi geografis, namun cinta. Cinta yang membutakan. Tidak ada arah dan tidak ada lintasan yang jelas yang harus ditempuh. Parahnya lagi, tidak ada penunjuk jalan yang memberitahu apakah jalur yang mereka tempuh itu tepat sesuai dengan tujuan. Jangankan GPS, peta goresan pena ala penjarah dan perompak laut asal Eropa pun tidak berlaku perihal tujuan cinta.

Saya bermimpi, apakah Tuhan akan membiarkan misteri ini tetap berlanjut? Atau Ia akan seperti bumi, yang akan dikalahkan zaman dengan munculnya alternatif penunjuk jodoh? Saya yakin tidak. Namun, apabila Ia berkehendak, siapa yang tahu? Tuhan bahkan merelakkan manusia menciptakan manusia. Tuhan bahkan memberi kemampuan berlebih pada manusia untuk meneliti jagat raya (yang menurut saya, gak penting-penting amat untuk dipecahkan. Kalau ada yang lebih kepo dari polemik remaja di Twitter, ya pasti para astronom yang kekeuh pengen menjelajah angkasa luar). Saya bermimpi apabila Tuhan memang berkehendak dan muncullah sebuah device yang dapat mendeteksi kupalan badai sirotin yang bergejolak pada diri manusia. Sebuah alat yang dapat menangkap sinyal pada radar kejodohan yang juga menentukan tingkat posibilitas dan akurasi berjodoh satu sama lain. Sebuah alat yang akan menunjukkan kemungkinan berjodoh. Itu, sih, simplenya.

Elaborasi saya mengarah pada dua kemungkinan. Satu, penemuan ini akan mengundang kondisi manusia yang semakin beradab. Bayangkan, tidak akan ada lagi perceraian! Semua orang akan berpasangan dengan benar. Cinta mereka akan tepat sasaran. Tidak ada lagi bahagia yang kontemporer. Semuanya akan abadi. Permanen. Pernikahan tidak lagi menjadi persitiwa yang hanya sakral, namun langka. Karena semua manusia hanya akan menikah sekali seumur hidup. Tidak akan ada lagi anak manusia yang lahir tanpa orang tua, tidak ada lagi anak manusia yang menjadi bekas anak, tidak akan ada lagi tempat sampah manusia yang menampung anak-anak bernama panti asuhan. Manusia yang sudah mengikat janji membentuk sebuah kelurga akan selamanya diberkahi oleh Tuhan. Mereka tepat sasaran. Hidupnya mendapat lucky strike. 777.

Namun, kondisi ini juga akan menimbulkan dampak yang negatif. Patah hati akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang dilampau hal biasa yang biasa-biasa saja. Bayangkan, setiap kali orang yang kau cintai tidak ada dalam radar GPS cintamu, tidakkah itu sangat menyakitkan? Ketika bahkan kau tahu, seseorang yang kau cinta itu belum tentu tidak mencintaimu, namun mana mungkin GPS cintamu berbohong? Pernahkah kau dengar GPS canggih salah membawamu yang ingin pergi ke Jakarta, malah ke Surabaya? Tidak mungkin salah. Ini GPS pemberian Tuhan, ingat? Bukan ramalan zodiak kacangan yang sering ditemukan di majalah-majalah kawula muda. Untuk apa menguji? Karena kebenaran absolut inilah, manusia pasti akan doyan sakit hati. Mereka akan menyesal tahu bahwa mereka tidak berjodoh, bahkan tanpa mencoba. Tanpa usaha. Misteri tanpa usaha mendapatkan jawabannya tidak lagi misteri. Misteri dibutuhkan. Dalam hal cinta, misteri dibutuhkan untuk meredam sakit hati. Cinta masih dapat dinegosiasi katanya. Siapa tahu? 

Dilema ‘salah jatuh cinta’ memang asyik nampaknya bila disolusikan dengan GPS cinta. Tidak adalagi manusia yang uring-uringan mencari jodoh. Biro jodoh bangkrut semua. Peramal kartu tarot boleh langsung membuang jauh-jauh kartu bergambar hati-nya. Reality show boleh gulung tikar. Namun, itukah kepentingan bercinta? Menemukan jodoh yang Tuhan gariskan untuk kita?

Bagi saya, jatuh cinta itu seperti perjalanan. Harus salah untuk tahu yang benar. Harus mengerti apa yang perlu dijauhi, dan untuk tahu apa yang perlu dijauhi, kita harus salah. Menyakitkan memang, kita kita tidak berjodoh dengan orang yang kita cintai, naum perjalanannya tidak berhenti sampai di situ. Lihatlah titik balik dari penggunaan GPS. Kau harus menurut. Ketika kamu lebih suka lewat pantai untuk mencapai Surabaya, tapi GPS memberitahumu bahwa lewat gunung adalah jalan terbaik, mana yang kamu pentingkan? Cintai sesuatu yang salah itu bukan sepenuhnya hal yang membawa keburukan. Kebahagiaan tidak selamanya ditemukan dalam hal-hal yang benar. Sirotin bukan enzim yang memintamu untuk benar, tapi untuk bahagia. Inilah misteri yang sesungguhnya. Tuhan sepertinya ingin kita salah. Tuhan masih berkeinginan untuk manusia merasakan patah hati. Salah jatuh cinta masih esensial. GPS cinta tidak membantu secara signifikan.
Saya pribadi tidak mau tidak bisa salah jatuh cinta. Memang pahit. Namun, salah jatuh cinta mengandung arti lain. Kita bahagia dengan orang yang kita cintai dengan salah, kan? Relakah kau menukar kebahagiaan itu dengan kepastian yang hakiki? Aku belum. Dan tidak akan pernah rela, sepertinya. Buat saya, kebahagiaan harus bebas, tanpa ikatan dan regulasi. Inikah yang Engkau pertimbangkan dalam misteri percintaan-Mu, Tuhan? Kau tetap ingin umat-Mu bahagia, walau ketika mereka tersesat, ketika mereka salah jatuh cinta? Untukku, Kau tetap seorang navigator yang pengertian. Tidak memaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar