Canggih benar, alat transportasi sekarang sudah
diprakarsai oleh sebuah sistem teknologi canggih bernama GPS. Kemanapun kamu
mau pergi, gak perlu takut nyasar. Cukup tekan tombol navigasi,
mesin-zaman-dewasa-ini tersebut akan memberikanmu sebuah peta dengan detil
lengkap yang bahkan gak ada di RPUL (maklum, RPUL masa kecil saya ada petanya.
Tepat di cover belakang bukunya).
Bahkan, yang saya tahu, GPS edisi terkini sudah memfasilitasi penggunanya
dengan auto-teller yang mana kesannya
mesin GPS kamu dijejelin mba-mba Alfamart yang siap cuap-cuap ngasih tau kamu
harus belok di mana, ke mana dan kapan, tiap kali kamu pasang destinasi. Gimana
Tuhan gak baik ngasih kita otak uber-outrageous
sampe bisa nyiptain mesin dari kombinasi besi, plastik dan kaca canggih kaya
gitu? Ya, memang bukan saya, sih, yang menciptakan, tapi saya bersyukur masih
ada manusia yang masih menggunakan otak yang Tuhan ciptakan dengan kesamaan
fungsi dan kapasitas dengan maksimal. Saya cuma kurang beruntung. Dan kurang
usaha.
Namun, saya tetap orang yang tidak bersyukur
secara bersamaan. Zaman sudah membawa kita pada kemampuan menyulap dunia
geografis pada kemudahan untuk digapai melalui mesin yang bahkan besarnya tidak
lebih besar daripada sebongkah tanah dan air bernama bumi itu sendiri. Namun
bumi kalah. Ia terjelajahi oleh sebuah benda mungil yang siap membawa manusia
menuju tempat yang mereka tuju. Bumi tidak bisa lagi memaksa manusia
berteka-teki untuk menemukan tujuan. Bumi tidak bisa lagi menyimpan misteri.
Bumi tidak bisa lagi menentukan nasib manusia. Manusia telah menemukan segala
jawaban menuju pengharapan mereka; manusia menang.
Saya sangat tidak bersyukur karena manusia begitu
tertolong dengan GPS. Namun, hal ini tidak sepenuhnya teraplikasikan terhadap
dimensi lain yang manusia kerap kali dibuat kelabakan dalam mencari solusinya.
Departemen yang terlampau sering membuat manusia tersesat. Bukan, bukan arah
dan tujuan dalam esensi geografis, namun cinta. Cinta yang membutakan. Tidak
ada arah dan tidak ada lintasan yang jelas yang harus ditempuh. Parahnya lagi,
tidak ada penunjuk jalan yang memberitahu apakah jalur yang mereka tempuh itu
tepat sesuai dengan tujuan. Jangankan GPS, peta goresan pena ala penjarah dan
perompak laut asal Eropa pun tidak berlaku perihal tujuan cinta.
Saya bermimpi, apakah Tuhan akan membiarkan
misteri ini tetap berlanjut? Atau Ia akan seperti bumi, yang akan dikalahkan
zaman dengan munculnya alternatif penunjuk jodoh? Saya yakin tidak. Namun,
apabila Ia berkehendak, siapa yang tahu? Tuhan bahkan merelakkan manusia
menciptakan manusia. Tuhan bahkan memberi kemampuan berlebih pada manusia untuk
meneliti jagat raya (yang menurut saya, gak penting-penting amat untuk
dipecahkan. Kalau ada yang lebih kepo dari polemik remaja di Twitter, ya pasti
para astronom yang kekeuh pengen
menjelajah angkasa luar). Saya bermimpi apabila Tuhan memang berkehendak dan
muncullah sebuah device yang dapat
mendeteksi kupalan badai sirotin yang bergejolak pada diri manusia. Sebuah alat
yang dapat menangkap sinyal pada radar kejodohan yang juga menentukan tingkat
posibilitas dan akurasi berjodoh satu sama lain. Sebuah alat yang akan
menunjukkan kemungkinan berjodoh. Itu, sih, simplenya.
Elaborasi saya mengarah pada dua kemungkinan.
Satu, penemuan ini akan mengundang kondisi manusia yang semakin beradab.
Bayangkan, tidak akan ada lagi perceraian! Semua orang akan berpasangan dengan
benar. Cinta mereka akan tepat sasaran. Tidak ada lagi bahagia yang
kontemporer. Semuanya akan abadi. Permanen. Pernikahan tidak lagi menjadi
persitiwa yang hanya sakral, namun langka. Karena semua manusia hanya akan
menikah sekali seumur hidup. Tidak akan ada lagi anak manusia yang lahir tanpa
orang tua, tidak ada lagi anak manusia yang menjadi bekas anak, tidak akan ada
lagi tempat sampah manusia yang menampung anak-anak bernama panti asuhan.
Manusia yang sudah mengikat janji membentuk sebuah kelurga akan selamanya
diberkahi oleh Tuhan. Mereka tepat sasaran. Hidupnya mendapat lucky strike. 777.
Namun, kondisi ini juga akan menimbulkan dampak
yang negatif. Patah hati akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang dilampau
hal biasa yang biasa-biasa saja. Bayangkan, setiap kali orang yang kau cintai
tidak ada dalam radar GPS cintamu, tidakkah itu sangat menyakitkan? Ketika bahkan kau tahu, seseorang yang kau
cinta itu belum tentu tidak mencintaimu, namun mana mungkin GPS cintamu
berbohong? Pernahkah kau dengar GPS canggih salah membawamu yang ingin pergi ke
Jakarta, malah ke Surabaya? Tidak mungkin salah. Ini GPS pemberian Tuhan,
ingat? Bukan ramalan zodiak kacangan yang sering ditemukan di majalah-majalah
kawula muda. Untuk apa menguji? Karena kebenaran absolut inilah, manusia pasti
akan doyan sakit hati. Mereka akan menyesal tahu bahwa mereka tidak berjodoh,
bahkan tanpa mencoba. Tanpa usaha. Misteri tanpa usaha mendapatkan jawabannya
tidak lagi misteri. Misteri dibutuhkan. Dalam hal cinta, misteri dibutuhkan
untuk meredam sakit hati. Cinta masih dapat dinegosiasi katanya. Siapa tahu?
Dilema ‘salah jatuh cinta’ memang asyik nampaknya
bila disolusikan dengan GPS cinta. Tidak adalagi manusia yang uring-uringan
mencari jodoh. Biro jodoh bangkrut semua. Peramal kartu tarot boleh langsung
membuang jauh-jauh kartu bergambar hati-nya. Reality show boleh gulung tikar.
Namun, itukah kepentingan bercinta? Menemukan jodoh yang Tuhan gariskan untuk
kita?
Bagi saya, jatuh cinta itu seperti perjalanan.
Harus salah untuk tahu yang benar. Harus mengerti apa yang perlu dijauhi, dan
untuk tahu apa yang perlu dijauhi, kita harus salah. Menyakitkan memang, kita
kita tidak berjodoh dengan orang yang kita cintai, naum perjalanannya tidak
berhenti sampai di situ. Lihatlah titik balik dari penggunaan GPS. Kau harus menurut. Ketika kamu lebih
suka lewat pantai untuk mencapai Surabaya, tapi GPS memberitahumu bahwa lewat
gunung adalah jalan terbaik, mana yang kamu pentingkan? Cintai sesuatu yang
salah itu bukan sepenuhnya hal yang membawa keburukan. Kebahagiaan tidak
selamanya ditemukan dalam hal-hal yang benar. Sirotin bukan enzim yang
memintamu untuk benar, tapi untuk bahagia. Inilah misteri yang sesungguhnya.
Tuhan sepertinya ingin kita salah.
Tuhan masih berkeinginan untuk manusia merasakan patah hati. Salah jatuh cinta masih esensial. GPS cinta tidak
membantu secara signifikan.
Saya pribadi tidak mau tidak bisa salah jatuh
cinta. Memang pahit. Namun, salah jatuh cinta mengandung arti lain. Kita
bahagia dengan orang yang kita cintai dengan salah, kan? Relakah kau menukar
kebahagiaan itu dengan kepastian yang hakiki? Aku belum. Dan tidak akan pernah
rela, sepertinya. Buat saya, kebahagiaan harus bebas, tanpa ikatan dan regulasi.
Inikah yang Engkau pertimbangkan dalam misteri percintaan-Mu, Tuhan? Kau tetap
ingin umat-Mu bahagia, walau ketika mereka tersesat, ketika mereka salah jatuh
cinta? Untukku, Kau tetap seorang navigator yang pengertian. Tidak memaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar