Selasa, 31 Juli 2012

Analogi Cinta dan Anak Terlarang


Ketika seorang manusia meberdayakan otaknya yang tumpul, mencoba membedah definisi dan interpretasi tentang cinta.

Terkadang mereka dengan mudahnya menyimbolkan cinta sebagai sebuah gambar jantung yang dibuat simetris dengan warna kemerahan. Dua buah sisi yang melingkar membentuk tubuh dan menjadi satu sudut lebih lancip di bawahnya. Terkadang berwarna merah muda. Apa bedanya gambar tersebut dengan segitiga, lingkaran, persegi, bujur sangkar dan lainnya, yang juga diberi warna kemerahan?
Terkadang mereka dengan mudahnya memberikan apresiasi dan selebrasi terhadap cinta dengan menyelenggarakan hari Valentine. Simbol lain bermunculan; cokelat, bunga, surat dan apapun yang kalian kaitkan dengan hari kasih sayang itu. Apa bedanya tanggal 14 Februari dengan hari-hari lainnya tempat orang-orang juga memberikan hadiah; hari ulang tahun, hari kelulusan, khitanan?
Terkadang mereka dengan sucinya mengikatkan cinta dengan ritual resmi yang kemudian dinamai pernikahan. Agama, budaya dan kependudukan membedakan prosesi pengadaan ritual itu secara pribadi; aksi lempar bunga, penyediaan makanan gratis, do’a bersama, konser organ tunggal. Bahkan mereka memiliki march tersendiri yang akrab dengan pernikahan. Apa bedanya event itu dengan acara hura-hura yang digelar oleh perusahaan rokok di kampung-kampung setiap menjelang 17 Agustus?
Izinkan saya memberikan gambaran saya terhadap satu kata yang terdiri dari 5 huruf dengan dua vokal dan 3 konsonan ini.

Cinta bagi saya itu turbulensi yang terjadi ketika logika dan rasio tidak lagi sepaham. Buntu. Maka jurang dalam tempat berhentinya mereka adalah yang saya sebut cinta. Kejamnya, jurang itu tercipta atas dasar konspirasi terciptanya gudang pemahaman darimana rasio dan logika itu sendiri berasal; otak. Otak berkonspirasi dengan hati menciptakan jurang bernama cinta. Otak telah terlebih dulu menjalin hubungan dengan kehidupan, yang dapat dengan gamblang menjelaskan hal dengan ilmiah, logis, riil. Buah hasil hubungan otak dan kehidupan melahirkan logika dan rasio. Selidik punya selidik, ternyata otak menjalin hubungan terlarang dengan hati—esensi yang tidak pernah akur dengan kehidupan, karena tidak bergaul dalam ranah yang sama. Hubungan gelap mereka membawa takdir menjadi kejam, memberikan anak lain bernama cinta. Merasa dikhianati, logika dan rasio akhirnya tidak berkenan untuk berjalan searah dengan cinta. Terkadang mereka saling bersapaan, berjalan beriringan, setuju satu sama lain. Namun, ketika memasuki situasi yang exact, seakan mereka menjadi berebeda dimensi. Mereka tidak dalam ruang yang sama. Jurang itu kembali muncul. Cinta terlalu menjorok ke dalam dan tidak terdeteksi dalam gelombang radar di mana logika dan rasio beroperasi. Sebaliknya bagi cinta, logika dan rasio berada jauh di atas sana; mengudara dan tergantung di langit-langit keabuan yang tidak terjangkau sinar patroli tempat mercusuar-nya teraktivasi.

Bukanlah cinta yang kita sebut anak haram di sini. Ia anugerah.
Anak terlarang dalam keluarga otak, karena cinta hanyalah minoritas. Silsilah keluarga dari kehidupan notabenenya sangat besar. Logika dan rasio lebih disanjung. Mereka diabadikan di mana-mana. Pendidikan menjunjung tinggi logika dan rasio. Budaya sangat bersahabat dengan mereka. Hukum terbentuk dengan kacamata logika dan rasio.

Namun, semua berubah ketika cinta turut ambil andil dalam eksistensi mereka. Cinta mengambil kendali. Ia mempengaruhi.

Bagi saya, bagaikan anak terlarang, cinta sering disalahkan. Disalahkan ketika ia tidak berhasil membawa pengharapan yang diekspektasi setiap insan. Ia disalahkan atas kerumitannya. Ia sering dicampakkan begitu saja ketika logika dan rasio kembali diungkit, ketika saudaranya lebih teoritis untuk dipahami manusia. Ia kembali menjadi tempatnya ketidakmengertian yang berujung kekecewaan.
Wajar saja bila manusia lebih nyaman berteman dengan rasio dan logika. Mereka mudah dimengerti dan pengertian. Namun, bagaikan kutukan, manusia juga mulai membutuhkan cinta. Tak lagi memikirkan kerumitannya, manusia mulai berteman dengan cinta. Kuncinya hanya satu, jangan memaksakan cinta untuk ditemani seperti kita berteman dengan logika dan rasio, biarkan cinta menjadi cinta.
Saya tidak pernah tahu apakah saya pernah mencintai dengan benar. Apakah yang kemarin saya jalin dengan perempuan itu cinta, atau nafsu, atau kebutuhan seksual, atau urgensi pubertas, atau hanya influensi sinetron-sinetron yang mendewasakan saya tidak tepat pada waktunya. Karena yang pasti, bagi saya cinta itu kata benda yang subjektif. Tidak pernah ada takaran yang jelas mengenai mana yang benar, mana yang salah. Tidak ada manual  yang memberitahu mekanisme bekerjanya. Tidak ada ukuran kecil, besar. Bagi saya, manusia sendirilah yang tahu.

Ada satu sifat yang menurut saya normal dimiliki cinta. Cinta itu seperti mesin. Ia dioperasikan. Ia butuh inang yang instruktif. Cinta itu kita yang mengatur, dan yang salah adalah ketika ia tidak bertuan. Cinta akan menjadi pasif dan manusia akan terjebak dalam renungannya sendiri; sakit hati, kecemburuan, kesedihan. Itu bukan karena cinta, karena cinta tidak kita gerakan. Itu kita. Ketika kita tidak mempersilakan cinta untuk bergerak, tentu dia akan statis. Bodohnya, ketika kita berharap untuk dibimbingnya. Cinta mana tahu harus berbuat apa. Ia tidak bekerja seperti itu. Ketika cinta menyarankan kita untuk mencintai orang itu, dan kehidupan tidak berkata demikian, cinta tidak akan pernah memaksa. Ketika kita memintanya untuk menemukan seseorang yang baru, ia pasti menurut. Celakanya, apabila kita sudah menyerah dan meminta cinta membimbing kita—sambil tetap bersikap stagnan dengan kenangan bersama orang itu. Tentu saja cinta tidak tahu harus bagaimana. Kita lupa bagaimana mengoperasikan cinta dan cinta akan tetap bersabar menanti tuannya untuk siap mengoperasikannya kembali. Yang lebih menharukan lagi, sembari menunggu kebangkitan sang majikan, cinta selalu siap untuk kembali disalahkan—seperti anak terlarang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar