Ketika seorang manusia meberdayakan otaknya yang
tumpul, mencoba membedah definisi dan interpretasi tentang cinta.
Terkadang mereka dengan mudahnya menyimbolkan
cinta sebagai sebuah gambar jantung yang dibuat simetris dengan warna
kemerahan. Dua buah sisi yang melingkar membentuk tubuh dan menjadi satu sudut
lebih lancip di bawahnya. Terkadang berwarna merah muda. Apa bedanya gambar tersebut dengan segitiga, lingkaran, persegi, bujur
sangkar dan lainnya, yang juga diberi warna kemerahan?
Terkadang mereka dengan mudahnya memberikan
apresiasi dan selebrasi terhadap cinta dengan menyelenggarakan hari Valentine.
Simbol lain bermunculan; cokelat, bunga, surat dan apapun yang kalian kaitkan
dengan hari kasih sayang itu. Apa bedanya
tanggal 14 Februari dengan hari-hari lainnya tempat orang-orang juga memberikan
hadiah; hari ulang tahun, hari kelulusan, khitanan?
Terkadang mereka dengan sucinya mengikatkan cinta
dengan ritual resmi yang kemudian dinamai pernikahan. Agama, budaya dan
kependudukan membedakan prosesi pengadaan ritual itu secara pribadi; aksi
lempar bunga, penyediaan makanan gratis, do’a bersama, konser organ tunggal. Bahkan
mereka memiliki march tersendiri yang
akrab dengan pernikahan. Apa bedanya
event itu dengan acara hura-hura yang digelar oleh perusahaan rokok di
kampung-kampung setiap menjelang 17 Agustus?
Izinkan saya memberikan gambaran saya terhadap
satu kata yang terdiri dari 5 huruf dengan dua vokal dan 3 konsonan ini.
Cinta bagi saya itu turbulensi yang terjadi ketika
logika dan rasio tidak lagi sepaham. Buntu.
Maka jurang dalam tempat berhentinya mereka adalah yang saya sebut cinta.
Kejamnya, jurang itu tercipta atas dasar konspirasi terciptanya gudang
pemahaman darimana rasio dan logika itu sendiri berasal; otak. Otak berkonspirasi dengan hati menciptakan jurang bernama
cinta. Otak telah terlebih dulu menjalin hubungan dengan kehidupan, yang dapat
dengan gamblang menjelaskan hal dengan ilmiah, logis, riil. Buah hasil hubungan
otak dan kehidupan melahirkan logika dan rasio. Selidik punya selidik, ternyata
otak menjalin hubungan terlarang dengan hati—esensi yang tidak pernah akur
dengan kehidupan, karena tidak bergaul dalam ranah yang sama. Hubungan gelap
mereka membawa takdir menjadi kejam, memberikan anak lain bernama cinta. Merasa
dikhianati, logika dan rasio akhirnya tidak berkenan untuk berjalan searah
dengan cinta. Terkadang mereka saling bersapaan, berjalan beriringan, setuju
satu sama lain. Namun, ketika memasuki situasi yang exact, seakan mereka menjadi berebeda dimensi. Mereka tidak dalam
ruang yang sama. Jurang itu kembali muncul. Cinta terlalu menjorok ke dalam dan
tidak terdeteksi dalam gelombang radar di mana logika dan rasio beroperasi.
Sebaliknya bagi cinta, logika dan rasio berada jauh di atas sana; mengudara dan
tergantung di langit-langit keabuan yang tidak terjangkau sinar patroli tempat mercusuar-nya teraktivasi.
Bukanlah cinta yang kita sebut anak haram di sini.
Ia anugerah.
Anak terlarang dalam keluarga otak, karena cinta
hanyalah minoritas. Silsilah keluarga dari kehidupan notabenenya sangat besar.
Logika dan rasio lebih disanjung. Mereka diabadikan di mana-mana. Pendidikan
menjunjung tinggi logika dan rasio. Budaya sangat bersahabat dengan mereka.
Hukum terbentuk dengan kacamata logika dan rasio.
Namun, semua berubah ketika cinta turut ambil
andil dalam eksistensi mereka. Cinta mengambil kendali. Ia mempengaruhi.
Bagi saya, bagaikan anak terlarang, cinta sering
disalahkan. Disalahkan ketika ia tidak berhasil membawa pengharapan yang
diekspektasi setiap insan. Ia disalahkan atas kerumitannya. Ia sering
dicampakkan begitu saja ketika logika dan rasio kembali diungkit, ketika
saudaranya lebih teoritis untuk dipahami manusia. Ia kembali menjadi tempatnya ketidakmengertian yang berujung kekecewaan.
Wajar saja bila manusia lebih nyaman berteman
dengan rasio dan logika. Mereka mudah dimengerti
dan pengertian. Namun, bagaikan kutukan, manusia juga mulai membutuhkan
cinta. Tak lagi memikirkan kerumitannya, manusia mulai berteman dengan cinta.
Kuncinya hanya satu, jangan memaksakan
cinta untuk ditemani seperti kita berteman dengan logika dan rasio, biarkan
cinta menjadi cinta.
Saya tidak pernah tahu apakah saya pernah
mencintai dengan benar. Apakah yang kemarin saya jalin dengan perempuan itu
cinta, atau nafsu, atau kebutuhan seksual, atau urgensi pubertas, atau hanya
influensi sinetron-sinetron yang mendewasakan saya tidak tepat pada waktunya.
Karena yang pasti, bagi saya cinta itu kata benda yang subjektif. Tidak pernah
ada takaran yang jelas mengenai mana yang benar, mana yang salah. Tidak ada manual
yang memberitahu mekanisme bekerjanya. Tidak ada ukuran kecil, besar.
Bagi saya, manusia sendirilah yang tahu.
Ada satu sifat yang menurut saya normal dimiliki
cinta. Cinta itu seperti mesin. Ia dioperasikan. Ia butuh inang yang
instruktif. Cinta itu kita yang mengatur,
dan yang salah adalah ketika ia tidak bertuan. Cinta akan menjadi pasif dan
manusia akan terjebak dalam renungannya sendiri; sakit hati, kecemburuan,
kesedihan. Itu bukan karena cinta, karena cinta tidak kita gerakan. Itu kita. Ketika kita tidak
mempersilakan cinta untuk bergerak, tentu dia akan statis. Bodohnya, ketika
kita berharap untuk dibimbingnya. Cinta
mana tahu harus berbuat apa. Ia tidak bekerja seperti itu. Ketika cinta
menyarankan kita untuk mencintai orang itu,
dan kehidupan tidak berkata demikian, cinta tidak
akan pernah memaksa. Ketika kita memintanya untuk menemukan seseorang yang
baru, ia pasti menurut. Celakanya,
apabila kita sudah menyerah dan meminta cinta membimbing kita—sambil tetap
bersikap stagnan dengan kenangan bersama orang itu. Tentu saja cinta tidak tahu harus bagaimana. Kita lupa bagaimana mengoperasikan cinta dan
cinta akan tetap bersabar menanti tuannya untuk siap mengoperasikannya kembali.
Yang lebih menharukan lagi, sembari menunggu kebangkitan sang majikan, cinta selalu siap untuk kembali
disalahkan—seperti anak terlarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar