Minggu, 29 Juli 2012

Partisipasi dalam Alienasi


Saya hadir dalam kegemaran orang-orang di dunia ini dengan menyedihkan. Banyak orang yang bertujuan untuk membagi pikirannya di akun multidimensi ini untuk bertukar atau membagi pikiran—sangat mulia dan cendikia. Sedangkan saya, dengan penuh tekad, mendedikasikan segala postingan di rubrik internet ini untuk mencari kesendirian—sangat ironis.

Pernah ada yang menyarankan saya untuk hidup sendiri di hutan. Andai saya bisa. Andaikan saja hutan adalah pilihan opsional yang fleksibel—di mana saya bisa dengan sesuka hati membawa kepentingan ‘kesendirian’ saya kapanpun dibutuhkan, pasti akan saya kantongi hutan pribadi tersebut dan saya kunjungi tiap kali penyakit ingin-sendiri-gak-pake-ribet-tanasiaselemia saya kambuh. Alih-alih menggapai mimpi yang sureal itu, saya justru sering menyimpan curahan pikiran dan hati saya. Saya terlampau sering menyaksikan mereka terucap bisu dalam abstraksi monolog yang hanya saya sendiri yang bisa dengar. Naratornya saya, penontonnya saya. Memang itu yang saya ingin. Tapi saya butuh tempat yang lebih bertanggungjawab menampung mereka yang statusnya kian mewabah. Rahim pikiran saya nampaknya sudah menjelang ajalnya dan membutuhkan sebuah cangkokan lahan produksi yang baru. Ngomong apa saya ini. Pikiran saja saya anggap sebagai hal yang menyusahkan. Tapi memang iya. Bagi saya, mereka menyusahkan. Karena mereka seperti manusia. Membutuhkan ‘rumah.’

Tak lama setelah itu, saya mulai meneteskan liur saya tiap kali liat blogger, bukan karena rangsangan seksual terhadap mereka, tapi karena ngidam pengen nge-blog juga. Saya pikir, dengan menguraikan pikiran saya sendiri—yang tidak bertujuan untuk dibaca atau dikomentari—bisa membawa saya dalam damai, sedikit. Singkatnya, saya bisa curhat semau jidat saya. Jidat keegoisan saya yang luasnya melebihi bandara internasional Ngurah Rai dikali tujuh pangkat enam.

Saya yakin, dengan lahirnya akun ini, saya akan menjadi seseorang yang memiliki seorang ibu digital untuk membentangkan pribadi dan diri spiritual saya yang sudah ngotot ingin disemayamkan. Mereka sudah sangat malas untuk disimpan. Mereka bukan kunci yang bisa disimpan di laci, katanya. Mereka sudah mengganggap saya polisi kacangan yang terus menerus menyekap mereka dalam penjara pikiran. Ya, kalau pikiran saya itu nyaman, mereka bilang tempat itu sudah penuh sesak dengan sampah-sampah yang disfungsional. Penuh sesak dengan memori. Saya sebut memori, eh, mereka panggil itu sampah. Ledek mereka, pikiran saya bahkan sudah seperti disket 3 ½ floppy A yang gak tahu malu karena berani-beraninya nampung memori yang seharusnya disimpan di HDD eksternal berdaya tampung 4 terrabyte. Bervirus mematikan pula. Saya ini sampah memori, katanya.

Maka dari itulah, blog ini akan saya jadikan tempat sampah memori saya yang baru. Saya gak kepingin pikiran saya lagi-lagi penuh sesak dengan kenangan—atau sekedar curhatan—mengungkung pribadi dan diri spiritual saya. This will be the place where I share my thoughts with nobody around me. The place where nobody will get annoyed with me spamming. The place where nobody will get nosy of knowing what I mean through my writings. The place where nobody will give their thumbs up or down. This is my own asylum—a place where I am solid. A place where I can shout, cry, laugh, nag, daysleep, or even just do an orgasm—who knows?
Saya lelah berada di dunia yang tidak mengizinkan saya berbicara banyak (Twitter, contohnya). Saya lelah beraktivitas di dunia yang jejaring sosialnya sudah terjamah dengan populasi orang yang terlalu membuncah—bagai cendol yang bahkan diblender, saking kurang puasnya dengan jumlah yang memang sudah padat (Facebook, misalnya). Aktivis di sana sudah sangat fanatik. They are too loud. Di sini, saya berharap, tempat sampah pikiran saya dapat menemukan kesendirian sejatinya. Tanpa demand. Tanpa tuntutan. Siapa yang mau menuntut tempat sampah, lagipula?

Izinkan saya—dengan ini—meresmikan blog ini sebagai tempat sampah pikiran saya yang baru. Saya berjanji untuk berpartisipasi dalam alienasi, dengan cinta dan penuh hormat. Sudah bisakah saya mencium mempelai tempat sampah pikiran saya yang baru sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar