Minggu, 13 Oktober 2013

A Scientific Literary Self-Blabbering: Karena Manusia Memiliki Perasaan

Cantik, tapi miskin.
Kaya, tapi jelek.
Pinter, tapi sombong.
Ramah, tapi bodoh.

Tidakkah kata ‘tapi’ di beberapa kumpulan frase kata sifat di atas dimaknai begitu kuat dan berpengaruh dalam pemahaman membaca Anda?
Tentu, karena mereka menunjukkan penolakan. Ketidakcukupan. Penentangan.
Saya rasa Anda setuju bahwa mereka tidak mungkin berdiri tegap di antara dua kata sifat yang bertentangan tersebut manakala tidak ditemukan adanya niat untuk membandingkan.
Menurut taksonomi Bloom, penentangan kritis akan muncul dalam ranah kognisi akhir yang mewajibkan insan baik untuk menganalisis maupun untuk mensintesis suatu fenomena.
Bloom benar—menurut saya.
Sudah lazim adanya, ketika seorang manusia harus menggunakan kompetensi berpikirnya untuk memberikan kritik terhadap suatu fenomena yang dianggap bias dan korban pergerakan yang stagnan dalam nilainya. Perbandingan dibutuhkan untuk mencari masalah, pembenaran, atau bahkan kebenaran. Namun sayangnya, Bloom tidak mengikutsertakan kemungkinan manusia untuk mengaplikasikan kemampuannya tersebut dalam membuat komparasi yang mengandung perasaan, seperti manusia itu sendiri.

Dibandingkan adalah sebuah sistematika yang mana akan selalu ada yang dinilai lebih baik dan lebih tidak baik. Dinilai lebih tidak baik merupakan suatu kesimpulan yang ditarik dari keputusan untuk mencari pembenaran. Kebenaran tidak selalu mudah, karena manusia memiliki perasaan.

Dampak dibandingi dengan orang lain dapat merujuk pada suatu situasi yang teramat menyakitkan. Kesakitan itu berbuah dari kebenaran bahwa yang tidak lebih baik itu memang tidak lebih baik. Pembenaran dari kebenaran sering tidak benar untuk dikemukakan, karena manusia memiliki perasaan.

Menjadi lebih baik tentu akan menciptakan sensasi lega dan sanjung, karena adanya kesempatan untuk membuktikan/dibuktikan kemenangan/menang. Mereka yang dinyatakan lebih baik tentu akan mengantongi predikat kebenaran sebagai sesuatu yang berguna untuk dipajang, disemat, dipamerkan. Namun, menggunakan kebenaran itu tidak semudah menjahit kancing pada baju, karena manusia memiliki perasaan.

Perkara mengaplikasikan bahasa dalam makna yang disembunyikan memang telah terurai dalam  social theory of semiotic, yang di dalamnya terkandung paparan pendapat Halliday (dan pakar bahasa lainnya—khususnya yang berkaitan dengan Systemic Functional Linguistics). Bersama dengan temuan Halliday, rantai penggunaan bahasa terikat kuat dengan usaha Chocure yang menguak betapa bahasa adalah bagian dari pembentukan ideologi manusia; terlebih dalam ranah interpersonal metafunction. Halliday secara empiris memperkuat pengetahuan tentang bahasa dengan aplikasi yang membenarkan adanya kesengajaan dalam memanipulasi bahasa—the use of methapore. Intensi A akan disimbolkan dalam pemilihan kata, menjadi frase, membentuk klausa dan berakhir dalam kalimat yang merujuk bahasa B. Interlocutors yang mendapat pesan tetap akan mengerti bahwa itu adalah A—menunjukkan betapa bahasa dapat menjadi sangat manipulatif. Menemukan benang merah dengan masalah membandingkan kualitas manusia, metafora akan sangat membantu dalam menyembunyikan determinasi untuk memberitahukan siapa yang tidak lebih baik. Akan tetapi, Halliday tidak mampu menjamin bahwa manusia tak akan menangkap isu implisit dalam metafora, karena manusia memiliki perasaan.

Membandingkan siapa yang lebih baik juga dapat dijumpai dalam penghelatan kompetisi; selalu ada yang kalah, ada yang menjadi runner-up, ada yang menjadi champion. Predikat tersebut disematkan kepada mereka untuk memberikan golongan bagi siapa yang dianggap paling baik, lebih baik, kurang baik dan paling tidak baik. Klasifikasi golongan tersebut diikutsertakan dengan pemberian apresiasi berupa hadiah yang juga dengan sengaja mensinyalir tingkat kemampuan peserta. Saya sangat percaya bahwa reward akan sangat memberikan dampak yang influential dalam memperhalus kebenaran yang ada; juara 2 tetap dapat hadiah (yang lebih tidak baik dari juara 1), dan yang tidak juara tetap mendapatkan sertifikat apresiasi. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan H. Douglas Brown—pakar applied linguistics of English teaching—yang menuturkan adanya domain kognitif dalam approach to teaching, termasuk anticipation of reward di dalamnya. Pemberian hadiah terkadang diperlukan bagi mereka yang sudah mencoba, bagi mereka yang masih berusaha, bagi mereka yang belum benar (terlepas dari probabilitas bahwa pemberian hadiah akan meninggalkan ketergantungan yang tidak baik bagi perkembangan automaticity dalam belajar). Namun, Brown tidak bisa mengelak bahwa mereka yang mendapatkan nominasi runner-up, juara 3, peserta dan yang lainnya (walaupun sudah diberikan hadiah) tetap dapat merasakan keterpurukan, karena manusia memiliki perasaan.
Erat hubungannya bahasa dan pendekatan yang digunakan dalam memperhalus pembenaran siapa yang lebih baik dengan kultur yang menjadi atmosfir latar belakang fenomena tersebut. Disebutkan oleh D.R Levine—salah satu penulis buku yang sangat baik bertitel Beyond Language—bahwa opini dapat ditunjukan dalam directness dan indirectness. Umumnya, menjadi direct speaker adalah kultur yang mengandung keinginan yang mendominasi keikutsertaan si pembicara atau interactant—kalau ini, jelas sudah menujukkan apresiasi untuk menjadi jujur dan terbuka (straightforward), lain halnya dengan menjadi indirect speaker. Pembicara umumnya mengkonsiderasi dengan seksama perasaan interactant interactant yang diberikan opini, karena adanya kepercayaan pada high considerateness. Opini yang disampaikan biasanya tidak mengandung kebenaran yang dapat menyinggung—because honesty sometimes cannot be the best policy. Dalam menyuarakan kebenaran yang tersembunyi melalui indirect opinion, mereka yang dinominasikan tidak lebih baik dari yang lain mungkin akan selamat dari keterpurukan, namun implikasi dari digunakannya indirectness tersebut membuat kontrol emosi seolah menjadi bom waktu—yang siap meledak ketika kebenaran yang asli terkuak ke permukaan. Deena Levine tidak dapat menebar benih solusi dari dampak ini, yang bisa membuat manusia berbohong, berkorban, bertengkar dan saling membenci pada akhirnya—karena manusia memiliki perasaan.
Realita dari apa yang diusahakan jenius di atas dijahit rapi dengan konklusi membingungkan; perasaan manusia tidak dapat dikontrol. Mereka bisa begitu dimanipulasi, namun tidak perasaan. Sangat disayngkan bahwa perasaan tidak dapat diklasifikasi kepada ranah kognisi taksonomi Bloom, tidak pula kepada pemaparan teori interperonal metafunction Halliday. Perasaan ‘ditipu dengan baik-baik’ tidak bisa menjamin 100% bahwa mereka dapat sukses terlepas dari keterpurukan, tidak semudah dengan diberikan hadiah seperti apa yang dinarasikan oleh teori anticipation of reward buah karya Brown, tidak pula seaman apa yang dijanjikan oleh iindirectness dalam pendapat Deena Levine. Manusia memiliki barrier yang tidak terjangkau oleh pembenaran teori—mereka off-limits. Satu-satunya yang dapat menjauhkan mereka dari keterpurukan adalah dua hal; karakter natural yang di-setting Tuhan dan usaha manusia itu sendiri. Saya rasa benar adanya bahwa beberapa manusia dapat menerima ‘menjadi tidak lebih baik dari orang lain’ dengan lensa positif; mereka dapat terus berusaha dan memperbaiki kesalahan. Sayangnya, sisi kompetitif tersebut tidak selalu Tuhan infus kepada seluruh insan manusia. Usaha yang mereka kerahkan tidak menjamin mereka akan menjauhi keterpurukan—karena ketika sedang menjauhinya, mereka mungkin akan merasa terpuruk. Tidak mudah memang menjadi seorang manusia, karena manusia memiliki perasaan.      
Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles. San Fransisco: Longman Inc.
Emilia, Emi. 2005. Teaching writing; developing Critical Learners. Bandung: Rizqi Press.
Levine, D. R. and Adelman, M. B. 1993. Beyond Language, 2nd Edition. Prentice Hall, Inc: USA.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar