Cantik,
tapi miskin.
Kaya,
tapi jelek.
Pinter,
tapi sombong.
Ramah,
tapi bodoh.
Tidakkah kata ‘tapi’ di beberapa kumpulan
frase kata sifat di atas dimaknai begitu kuat dan berpengaruh dalam pemahaman
membaca Anda?
Tentu, karena mereka menunjukkan penolakan.
Ketidakcukupan. Penentangan.
Saya rasa Anda setuju bahwa mereka tidak mungkin
berdiri tegap di antara dua kata sifat yang bertentangan tersebut manakala
tidak ditemukan adanya niat untuk membandingkan.
Menurut taksonomi Bloom, penentangan kritis akan
muncul dalam ranah kognisi akhir yang mewajibkan insan baik untuk menganalisis
maupun untuk mensintesis suatu fenomena.
Bloom benar—menurut saya.
Sudah lazim adanya, ketika seorang manusia harus
menggunakan kompetensi berpikirnya untuk memberikan kritik terhadap suatu
fenomena yang dianggap bias dan korban pergerakan yang stagnan dalam nilainya.
Perbandingan dibutuhkan untuk mencari masalah, pembenaran, atau bahkan
kebenaran. Namun sayangnya, Bloom tidak mengikutsertakan kemungkinan manusia
untuk mengaplikasikan kemampuannya tersebut dalam membuat komparasi yang mengandung
perasaan, seperti manusia itu sendiri.
Dibandingkan adalah sebuah sistematika yang mana
akan selalu ada yang dinilai lebih baik dan lebih tidak baik. Dinilai lebih
tidak baik merupakan suatu kesimpulan yang ditarik dari keputusan untuk mencari
pembenaran. Kebenaran tidak selalu mudah, karena
manusia memiliki perasaan.
Dampak dibandingi dengan orang lain dapat merujuk
pada suatu situasi yang teramat menyakitkan. Kesakitan itu berbuah dari
kebenaran bahwa yang tidak lebih baik itu memang tidak lebih baik. Pembenaran
dari kebenaran sering tidak benar untuk dikemukakan, karena manusia memiliki perasaan.
Menjadi lebih baik tentu akan menciptakan sensasi
lega dan sanjung, karena adanya kesempatan untuk membuktikan/dibuktikan
kemenangan/menang. Mereka yang dinyatakan lebih baik tentu akan mengantongi
predikat kebenaran sebagai sesuatu yang berguna untuk dipajang, disemat,
dipamerkan. Namun, menggunakan kebenaran itu tidak semudah menjahit kancing
pada baju, karena manusia memiliki
perasaan.
Perkara mengaplikasikan bahasa dalam makna yang
disembunyikan memang telah terurai dalam social
theory of semiotic, yang di dalamnya terkandung paparan pendapat Halliday
(dan pakar bahasa lainnya—khususnya yang berkaitan dengan Systemic Functional
Linguistics). Bersama dengan temuan Halliday, rantai penggunaan bahasa terikat
kuat dengan usaha Chocure yang menguak betapa bahasa adalah bagian dari
pembentukan ideologi manusia; terlebih dalam ranah interpersonal metafunction. Halliday secara empiris memperkuat
pengetahuan tentang bahasa dengan aplikasi yang membenarkan adanya kesengajaan
dalam memanipulasi bahasa—the use of
methapore. Intensi A akan disimbolkan dalam pemilihan kata, menjadi frase,
membentuk klausa dan berakhir dalam kalimat yang merujuk bahasa B. Interlocutors yang mendapat pesan tetap
akan mengerti bahwa itu adalah A—menunjukkan betapa bahasa dapat menjadi sangat
manipulatif. Menemukan benang merah dengan masalah membandingkan kualitas
manusia, metafora akan sangat membantu dalam menyembunyikan determinasi untuk
memberitahukan siapa yang tidak lebih baik. Akan tetapi, Halliday tidak mampu
menjamin bahwa manusia tak akan menangkap isu implisit dalam metafora, karena manusia memiliki perasaan.
Membandingkan siapa yang lebih baik juga dapat
dijumpai dalam penghelatan kompetisi; selalu ada yang kalah, ada yang menjadi runner-up, ada yang menjadi champion. Predikat tersebut disematkan
kepada mereka untuk memberikan golongan bagi siapa yang dianggap paling baik,
lebih baik, kurang baik dan paling tidak baik. Klasifikasi golongan tersebut
diikutsertakan dengan pemberian apresiasi berupa hadiah yang juga dengan
sengaja mensinyalir tingkat kemampuan peserta. Saya sangat percaya bahwa reward akan sangat memberikan dampak
yang influential dalam memperhalus
kebenaran yang ada; juara 2 tetap dapat hadiah (yang lebih tidak baik dari
juara 1), dan yang tidak juara tetap mendapatkan sertifikat apresiasi. Hal ini
sejalan dengan teori yang dikemukakan H. Douglas Brown—pakar applied linguistics of English teaching—yang
menuturkan adanya domain kognitif dalam approach
to teaching, termasuk anticipation of
reward di dalamnya. Pemberian hadiah terkadang diperlukan bagi mereka yang
sudah mencoba, bagi mereka yang masih berusaha, bagi mereka yang belum benar
(terlepas dari probabilitas bahwa pemberian hadiah akan meninggalkan
ketergantungan yang tidak baik bagi perkembangan automaticity dalam belajar). Namun, Brown tidak bisa mengelak bahwa
mereka yang mendapatkan nominasi runner-up,
juara 3, peserta dan yang lainnya (walaupun sudah diberikan hadiah) tetap
dapat merasakan keterpurukan, karena
manusia memiliki perasaan.
Erat hubungannya bahasa dan pendekatan yang digunakan dalam memperhalus
pembenaran siapa yang lebih baik dengan kultur yang menjadi atmosfir latar
belakang fenomena tersebut. Disebutkan oleh D.R Levine—salah satu penulis buku
yang sangat baik bertitel Beyond Language—bahwa opini dapat ditunjukan dalam directness dan indirectness. Umumnya, menjadi direct
speaker adalah kultur yang mengandung keinginan yang mendominasi
keikutsertaan si pembicara atau interactant—kalau
ini, jelas sudah menujukkan apresiasi untuk menjadi jujur dan terbuka (straightforward), lain halnya dengan
menjadi indirect speaker. Pembicara umumnya
mengkonsiderasi dengan seksama perasaan interactant
interactant yang diberikan opini, karena adanya kepercayaan pada high considerateness. Opini yang
disampaikan biasanya tidak mengandung kebenaran yang dapat menyinggung—because honesty sometimes cannot be the best
policy. Dalam menyuarakan kebenaran yang tersembunyi melalui indirect opinion, mereka yang
dinominasikan tidak lebih baik dari yang lain mungkin akan selamat dari
keterpurukan, namun implikasi dari digunakannya indirectness tersebut membuat kontrol emosi seolah menjadi bom
waktu—yang siap meledak ketika kebenaran yang asli terkuak ke permukaan. Deena
Levine tidak dapat menebar benih solusi dari dampak ini, yang bisa membuat
manusia berbohong, berkorban, bertengkar dan saling membenci pada akhirnya—karena manusia memiliki perasaan.
Realita dari apa yang diusahakan jenius di atas dijahit rapi dengan
konklusi membingungkan; perasaan manusia tidak dapat dikontrol. Mereka bisa
begitu dimanipulasi, namun tidak perasaan. Sangat disayngkan bahwa perasaan
tidak dapat diklasifikasi kepada ranah kognisi taksonomi Bloom, tidak pula
kepada pemaparan teori interperonal
metafunction Halliday. Perasaan ‘ditipu dengan baik-baik’ tidak bisa
menjamin 100% bahwa mereka dapat sukses terlepas dari keterpurukan, tidak
semudah dengan diberikan hadiah seperti apa yang dinarasikan oleh teori anticipation of reward buah karya Brown,
tidak pula seaman apa yang dijanjikan oleh iindirectness
dalam pendapat Deena Levine. Manusia memiliki barrier yang tidak terjangkau oleh pembenaran teori—mereka off-limits. Satu-satunya yang dapat
menjauhkan mereka dari keterpurukan adalah dua hal; karakter natural yang di-setting Tuhan dan usaha manusia itu
sendiri. Saya rasa benar adanya bahwa beberapa manusia dapat menerima ‘menjadi
tidak lebih baik dari orang lain’ dengan lensa positif; mereka dapat terus
berusaha dan memperbaiki kesalahan. Sayangnya, sisi kompetitif tersebut tidak
selalu Tuhan infus kepada seluruh insan manusia. Usaha yang mereka kerahkan
tidak menjamin mereka akan menjauhi keterpurukan—karena ketika sedang
menjauhinya, mereka mungkin akan merasa terpuruk. Tidak mudah memang menjadi
seorang manusia, karena manusia memiliki
perasaan.
Brown,
H. Douglas. 2001. Teaching by Principles.
San Fransisco: Longman Inc.
Emilia,
Emi. 2005. Teaching writing; developing
Critical Learners. Bandung: Rizqi Press.
Levine, D. R. and
Adelman, M. B. 1993. Beyond Language,
2nd Edition. Prentice Hall, Inc: USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar